Tasikmalaya, 13 Maret 2025– Kota Tasikmalaya selama ini dikenal sebagai kota religius. Namun di balik label tersebut, realitas perempuan di Tasikmalaya justru masih dibayangi oleh berbagai persoalan serius. Sahabati Maisya Salsabila , Ketua KOPRI Komisariat IAIT Tasikmalaya menyoroti bahwa perlindungan dan pemberdayaan perempuan di daerah ini belum menjadi prioritas nyata dalam kebijakan publik.
Kekerasan terhadap Perempuan: Luka yang Terus Berulang
“Di tengah klaim sebagai kota santri, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Korban seringkali tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya, bahkan terkadang dibungkam oleh budaya victim blaming yang masih mengakar,” ujar Sahabati Maisya
Data dari berbagai lembaga pemerhati perempuan menunjukkan peningkatan laporan kekerasan seksual dan KDRT, namun respons pemerintah dianggap masih lamban dan tidak proaktif.
“Kami meminta agar Pemkot Tasikmalaya tidak hanya mengutamakan pencitraan religius, tapi benar-benar memastikan bahwa perempuan merasa aman di ruang publik maupun domestik,” tegasnya.
Minimnya Representasi dan Ruang Partisipasi Perempuan
“Kami juga mencatat bahwa ruang partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan masih sangat sempit. Di DPRD Kota Tasikmalaya, representasi perempuan belum mencerminkan semangat kesetaraan yang diamanatkan undang-undang,”* jelas Sahabat Uca.
Menurutnya, perempuan harus lebih banyak dilibatkan dalam Musrenbang dan perumusan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan perlindungan sosial dan ekonomi.
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Masih Setengah Hati
Perempuan pelaku UMKM di Tasikmalaya masih banyak menghadapi keterbatasan akses permodalan dan pendampingan usaha. Program pemberdayaan yang ada dinilai belum menjangkau kelompok perempuan akar rumput.
“Jangan jadikan program pemberdayaan hanya seremonial. Pemerintah harus hadir, memberikan solusi konkret, dari akses modal sampai pelatihan yang berkelanjutan, agar perempuan Tasikmalaya bisa mandiri secara ekonomi,” kata Sahabati Maisya
Perkawinan Anak: Ancaman Masa Depan Generasi Perempuan
Tasikmalaya juga masih dihadapkan pada tingginya angka perkawinan usia anak yang mengorbankan masa depan perempuan muda.
“Perkawinan usia anak adalah bentuk kekerasan struktural yang merampas hak pendidikan dan kesehatan anak perempuan. Negara harus hadir, bukan sekadar menghimbau, tapi bertindak tegas,”lanjutnya.
“Kota yang religius tidak hanya diukur dari seberapa tinggi menara masjidnya, tapi juga dari seberapa aman, adil, dan bermartabat perempuan di dalamnya. Kami mahasiswa PMII siap menjadi mitra kritis dan moral force bagi Pemkot Tasikmalaya untuk memastikan perempuan tidak lagi menjadi korban, tapi pemilik penuh hak atas masa depan mereka,” pungkas Sahabati Maisya (**)