Oleh: Malby Abdul Rojak
Mahasiswa KPI INU Tasikmalaya
Tasikzone.com – Diskursus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 tetap menjadi perhatian kalangan pengamat, akademisi serta publik. Berdasarkan pasal 201 ayat (8) Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemungutan suara serentak Nasional untuk Pilkada di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Pemilihan umum kepala daerah merupakan sebuah proses pemilihan jabatan pemerintah melalui proses perhitungan secara langsung, umum, jujur, dan adil. Setiap warga negara yang sudah menginjak usia 17 tahun mempunyai hak suara yang sama untuk menentukan pilihannya.
Seyogyanya Pilkada kali ini menjadi sarana pemersatu bangsa karena sejatinya pemilu adalah jantungnya demokrasi di Indonesia. Namun dalam perjalanannya acap kali terjadi kecurangan-kecurangan yang sengaja dilakukan oleh para elite politik dalam mengejar ambisi untuk merebut kekuasaan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan penulis, proses perjalanan pilkada di daerah tak pernah lepas dari pengaruh money politik, black campaign, isu sara hingga politik adu domba. Tak terkecuali di Tasikmalaya, indikasi penyakit yang tak kunjung sembuh seperti itu kerap terjadi.
Hingar-bingar menjelang kontestasi Pilkada 2024 di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya mulai terasa semakin bergejolak. Sejumlah calon kandidat muncul ke permukaan publik untuk menarik perhatian supaya bisa lebih dilirik oleh masyarakat.
Beragam jurus dilakukan oleh mereka mulai dari jurus sederhana sampai jurus yang paling istimewa. Ada yang masif tebar pesona, memasang iklan melalui billboard besar di tengah kota, menyebar baliho yang menghiasi sudut jalan, dan ada juga yang rela merogoh kocek untuk merekrut para influlencer.
Berbagai skenario disusun apik oleh para elite politik hingga bagaimana menyusun strategi dalam mengarungi pertarungan di medan perang demi meraih kemenangan.
Politik kekuasaan dalam proses berjalannya pemilu pun tak terelakkan. Penggiringan serta keberpihakan kepada salah satu kandidat kerap mewarnai pesta demokrasi di tanah ini. Tentunya kita sering menemukan pejabat publik tampil secara terang-terangan sebagai bukti menunjukkan dukungan, tapi tak sedikit pula yang berperan dibalik layar karena terhimpit aturan.
Sehingga, tidak salah jika momen ini pun disebut sebagai ujian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sejauh mana mereka mampu menjaga netralitas amanat Undang-undang.
Tak hanya itu, pada momen sakral ini keterlibatan para pengusaha baik di tingkat lokal ataupun nasional sangat kentara. Mereka berlomba-lomba menjadi investor terbaik untuk beradu kekuatan dalam rangka mensukseskan para kandidat yang diusungnya sampai ke kursi Bupati atau Wali Kota.
Hadirnya mereka sebagai investor tentunya bukan tanpa sebab apalagi gratis. Tetapi kehadiran para cukong itu yang siap menginvestasikan sejumlah nominal materi akan berbuntut panjang. Politik balas budi pun seolah wajib ada hukumnya untuk mengganti besaran nilai jasa dan materi yang sudah digelontorkan dengan sejumlah proyek-proyek pemerintah.
Secara tidak langsung dengan adanya utang jasa tersebut membuat pimpinan pejabat daerah itu tersandera. Jadi tak perlu heran jika menemukan hasil pekerjaan proyek kebanyakan tidak sesuai speak yang seharusnya.
Sayangnya, mayoritas publik seolah bersikap acuh tak acuh dan tidak menyadari bahwa mereka sudah masuk ke dalam perangkap hingga terbuai dengan rayuan manisnya. Tentunya secara tidak langsung mereka telah menjadi korban eksploitasi politik pada momentum pesta demokrasi lima tahunan ini.
Berkaca dari itu, penulis mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk tetap waspada agar tidak menjadi target empuk para elite dan dijadikan sebagai objek eksploitasi politik. Kini sudah saatnya kita menjadi pemilih cerdas dalam menggunakan hak politik untuk menentukan pilihan memilih pemimpin daerah sesuai dengan hati nurani bukan dengan isi materi. Mari kita lakukan dan tunjukkan kepada mereka demi membangun kota lebih baik di masa depan. **