Oleh: N. Vera Khairunnisa
Dibanding laki-laki, tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan secara fitrah memiliki fisik yang lebih lemah. Kondisi tersebut seharusnya menjadikan para lelaki sebagai pelindung untuk perempuan. Namun faktanya, tidak sedikit para perempuan yang justru jadi korban kekerasan.
Provinsi Jawa Barat menjadi tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, selama 2020, sebanyak 2.738 perempuan di Jawa Barat jadi korban kekerasan. Mereka menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran ekonomi, seksual berbasis online, dan trafficking atau pekerja migran bermasalah.
Masih menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ketahun selalu meningkat. Data secara nasional pada 2016 sebanyak 259.150. Pada 2017 naik jadi 348.446 kasus, 2018 melonjak 406.178, dan 2019 naik lagi 431.471. Sedangkan data 2020 saat ini sedang dihimpun dari seluruh provinsi dan daerah di Indonesia. (inewsjabar. id, 13/12/2020)
Bukan tidak mungkin, data kekerasan akan semakin meningkat di tahun ini, lebih-lebih di tengah pandemi yang menyebabkan masyarakat mengalami berbagai kesulitan, terutama kesulitan dalam aspek ekonomi.
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu yang direkomendasikan Komnas Perempuan adalah agar pemerintah segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi prolegnas prioritas 2021, sebagai aturan hukum bagi kasus kekerasan seksual termasuk yang berbasis online pada masa pandemi Covid-19.
Bahkan, dalam peringatan kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan pada 2020 ini, Komnas Perempuan menyampaikan pesan nasional, “Gerak Bersama: Jangan Tunda lagi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. (inewsjabar. id, 13/12/2020)
Padahal sejak awal kemunculannya, RUU PKS ini kerap menimbulkan kontroversi. Alih-alih menjadi solusi, namun akan melahirkan banyak permasalah baru. Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti, ruh dari RUU-PKS adalah semangat sekularisme karena di dalam pasal itu tidak mengenali agama, bahkan memisahkan kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, banyak pasal-pasal dalam RUU tersebut yang bermasalah kalau dipandang dari sisi agama. Sebagai contoh, RUU PKS tersebut seolah melegalkan pelacuran dan L6BT, karena tidak tertuang aturan yang melarang kedua perbuatan keji tersebut. Termasuk aborsi pun diperbolehkan jika bukan karena pemaksaan. Hal ini tentu bertentangan dengan norma agama.
Jika RUU tersebut tetap disahkan, bisa jadi kasus kekerasan terhadap perempuan dipermukaan seolah menurun. Hanya saja, kenyataan pahit yang mengerikan akan tetap muncul. Misalnya, perilaku seks menyimpang akan semakin banyak, perilaku zina pun tetap merajalela bahkan semakin memprihatinkan.
Itulah solusi yang muncul dari rahim demokrasi sekularisme. Sistem buatan manusia yang lahir dari spirit memisahkan agama dari kehidupan. Membuat aturan manusia dengan akal yang terbatas, akan menimbulkan kesengsaraan dan kerusakan.
Padahal, maraknya kekerasan seksual pun akibat dari diterapkannya sistem ini. Mengapa manusia atau para laki-laki melakukan kekerasan? Ini banyak faktor. Bisa karena kondisi ekonomi yang sulit.
Juga karena tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang benar. Belum lagi ditambah dengan beragam aksi kekerasan yang hari ini banyak dipertontonkan. Semua faktor ini berakumulasi menyebabkan maraknya tindak kekerasan yang terjadi.
Kondisi ekonomi yang sulit adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme, yang menyebabkan kekayaan sumber daya alam (SDA) dikuasai oleh sebagian orang saja. Sehingga meski Indonesia ini melimpah SDA-nya, namun banyak rakyatnya yang miskin.
Ketidakmampuan mengendalikan emosi, ini akibat dari penerapan sistem pendidikan sekuler. Akal manusia yang seharusnya diisi dengan spirit keimanan dan ilmu agama, nihil. Sehingga keberadaan akal tidak mampu memimpin mereka dalam bertingkah laku. Akhirnya, manusia bertindak berdasarkan hawa nafsunya.
Ide kebebasan alias liberalisme yang lahir dari paham demokrasi pun menyebabkan munculnya beragam tontonan kekerasan. Keberadaan media hari ini hanya sebagai hiburan dan sarana mencari keuntungan materi, tanpa ada rambu-rambu yang jelas.
Saatnya kita menyadari, bahwa kita tidak mungkin lagi berharap pada sistem demokrasi-kapitalisme. Sebab bukan akan menyelesaikan masalah, justru sistem tersebut merupakan sumber dari lahirnya beragam masalah, termasuk masalah kekerasan terhadap perempuan.
Sudah sepatutnya kita mempertimbangkan solusi alternatif. Sebuah solusi yang datang dari Pencipta. Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Yang bukan hanya mampu mengurangi tingkat kekerasan pada perempuan, namun betul-betul akan menghapuskan segala bentuk kejahatan dari muka bumi, itulah sistem Islam.
Sistem Islam tersebut bukan hanya diterapkan secara parsial, namun harus secara menyeluruh. Dan hal ini membutuhkan perubahan mendasar. Perubahan dimaksud adalah perubahan sistem, dari sistem sekuler yang menafikan peran Sang pencipta kehidupan kepada sistem Islam.
Sebab Islam adalah agama yang sempurna (kaamilan) dan menyeluruh (syamilan). Di dalamnya memiliki seperangkat aturan yang bersifat preventif (mencegah) dan kuratif (mengobati). Jika diterapkan, mampu melindungi masyarakat dari segala bentuk tindak kekerasan dan kejahatan lainnya.
Secara ringkas, berikut penjelasan bagaimana penerapan sistem Islam akan mampu memberikan perlindungan pada masyarakat, khususnya perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan:
Pertama, dengan penerapan sistem pendidikan yang berasaskan Islam, akan melahirkan manusia yang berkepribadian Islam. Manusia yang memiliki rasa takut terhadap Allah dan balasan hari akhir. Sehingga akan mencegah mereka dari melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.
Kedua, dengan penerapan sistem ekonomi Islam, akan melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sehingga salah satu faktor yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan akan hilang.
Ketiga, penerapan sistem pergaulan dalam Islam, akan menjaga dan melindungi kehormatan perempuan. Islam mewajibkan perempuan menutup aurat jika keluar rumah, melarang perempuan ber-tabarruj (berdandan berlebihan) di luar rumah. Kaum perempuan pun tidak diperkenankan bercampur-baur dengan laki-laki tanpa ada keperluan syar’i.
Keempat, keberadaan media dalam Islam bukan hanya sebagai sarana untuk meraih keuntungan materi. Namun untuk menunjang edukasi dan dakwah. Sehingga media yang menampilkan kekerasan tidak akan diberikan ruang.
Kelima, dengan penerapan sistem sanksi dalam Islam yang akan menimbulkan efek jera. Dalam Islam, sanksi untuk pelaku kekerasan akan disesuaikan dengan seberapa berat tindak kekerasan yang dilakukannya.
Misalnya saja, Islam menetapkan bahwa pelaku pemerkosaan akan diancam sanksi cambuk 100 kali jika belum menikah. Bila telah menikah, pelakunya akan dirajam hingga mati. Hukuman akan lebih berat lagi jika dibarengi dengan tindak kekerasan lainnya.
Namun, seluruh perangkat aturan ini hanya mungkin diterapkan dalam sistem politik Islam, yakni sistem kenegaraan yang meneladani Khulafaur Rasyidin. Sebuah sistem yang diwajibkan oleh Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i.
Juga telah terbukti mampu memberikan perlindungan bagi perempuan, ketika Islam diterapkan sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Utsmani.
Semoga Islam Kaaffah bisa segera tegak kembali. Agar kemuliaan, kehormatan dan keselamatan perempuan bisa kembali terjaga. Karena sistem Islamlah satu-satunya yang menjadi harapan baru bagi permasalahan kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Wallahua’lam.