Oleh: Rifyal Luthfi MR.
Dalam kehidupan kita, pasti akan terasa hampa jika tidak ada sesuatupun yang kita persiapkan untuk bekal menjalani aktifitas dalam keseharian. Sebut saja ketika perjalanan ke kampus, ke kantor, liburan, mengajak keluarga treveling, bahkan untuk sekedar jalan-jalan sama teman saja harus memerlukan bekal baik itu untuk jajanan, cemilan ataupun makan-makan dengan teman. Hanya sekian jam saja, kita harus menyiapkan segala sesuatunya agar tidak terjadi hal yang tidak kita inginkan.
Begitupun perjalanan yang panjang kelak di akhirat yang sangat menyita segala sesuatunya yang dibarengi dengan rasa takut serta pengharapan kita kepada Sang Pencipta Alam semesta.
Sebenarnya berapa lamakah perjalanan akhirat? jawabannya adalah perjalanan 1 (satu) hari diakhirat sama dengan 1000 tahun di dunia, seperti yang difirmankan oleh Allah swt. dalam Quran surah al-Hajj: 47: “Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Tak terbayangkan begitu lama perjalanan akhirat nanti, lalu apa saja yang sudah kita persiapkan untuk bertemu dengan Allah dan mempertanggungjawabkan segala sesuatu perbuatan kita selama hidup di dunia? kemudian amal terbaik apa yang dapat menemani kita selama perjalanan di akhirat nanti?
Pertanyaannya selanjutnya adalah sudahkan kita berwakaf? dan mengapa dengan wakaf?, ketahuilah bahwa wakaf adalah salah satu bekal terbaik tuk perjalanan di akhirat kelak, dimana pahala terus mengalir meskipun nyawa telah terputus selama harta atau barang yang diwakafkan tersebut masih digunakan dan bermanfaat.
Dan hukum wakaf adalah sunah seperti amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya, orang yang berwakaf bukan hanya berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa: ”Apabila anak adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam) yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya (HR. Muslim), Firman Allah swt.: “kalian sekali-kali tidak akan menggapai kebaikan kecuali kalian mau menginfaqkan harta benda yang kalian cintai (Qs. Ali Imran:92)
Aspek pengendaliannya adalah kebaikan akan tergapai dengan wakaf. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Abu Thalhah, ketika beliau mendengar ayat tersebut, beliau bergegas untuk mewakafkan sebagian harta yang ia cintai, yaitu Beirha, sebuah kebun yang terkenal. Maka ayat tersebut menjadi dalil atas disyariatkannya wakaf.
Begitu pula Asy-syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan,“yang menjadi pijakan masalah ini (wakaf) adalah bahwasannya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra. memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliaupun datang menemui Rasulullah saw. untuk meminta pendapatnya tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah wakaf tersebut). Karena para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Rasulullah saw. memberikan petunjuk kapada beliau untuk mewakafkan dan megatakan, “Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya/manfaatnya.”Maka dengan petunjuk beliau itu lalu Umar sedekahkan hasilnya/manfaatnya dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan (HR/ Bukhori-Muslim).
Dari peristiwa ini kemudian diabadikan ajaran berwakaf dengan tanah dan bangunan bahkan saat ini di Indonesia telah berkembang tradisi mewakafkan harta dalam bentuk uang, logam mulia, dan Surat berharga yang kebolehanya diatur melalui UU No 41 Tahun 2004 Tentang wakaf, dalam hukum Islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik nadzir/lembaga pengelola wakaf tapi menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dari uraian hadits di atas juga jelaslah bagi kita bahwa berwakaf bukan hanya sedekah biasa, tetapi sebagai salah satu pernyataan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi antara sesama manusia serta lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf, karena ganjaran wakaf itu terus mengalir selama barang wakaf itu masih berguna. Juga terhadap masyarakat, dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan. Oleh karenanya, wakaf adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hablumminallah dan habluminannas.
Lihatlah negeri-negeri Islam dizaman dulu, karena adanya wakaf, umat Islam dapat maju, bahkan sampai sekarang telah beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf mereka masih juga kekal dan bermanfaat bagi kita.
Dizaman serba tercecer ini, kita masih dapat merasakan manis dan lezatnya hasil wakaf mereka dahulu itu. Maka kalau sekiranya umat muslim yang berakal, yang dewasa, yang merdeka sekarang sanggup mewakafkan harta mereka seperti orang-orang Islam terdahulu, kita percaya bahwa mereka telah membuka satu jalan untuk kemajuan pembangunan, dan beberapa tahun kemudian anak cucu kita akan memetik buahnya yang lezat.
Hasbunallah wani`mal wakil