Home / Opini / Bolehkah Calon Politik Berkampanye di Tempat Pendidikan? Analisis Perspektif Hukum dan Etika
PicsArt_07-28-09.59.30

Bolehkah Calon Politik Berkampanye di Tempat Pendidikan? Analisis Perspektif Hukum dan Etika

Oleh : Arya Eka Bimantara
(KARO. Gerakan Masa dan Pengelolaan Opini Publik, PC PMII Kab. Tasikmalaya)

Calon Politik banyak yang berpendapat bahwa berkampanye di tempat pendidikan dapat memperluas jangkauan suara. Namun, apakah hal ini legal dan etis?

Pada dasarnya, pelaksanaan kampanye dalam pemilihan umum merupakan hak politik yang dijamin oleh Konstitusi. Akan tetapi, pelaksanaan kampanye juga memiliki aturan dan norma-norma yang perlu ditaati, baik dari segi hukum maupun etika. Topik yang akan diangkat kali ini adalah apakah seorang calon politik boleh berkampanye di tempat pendidikan. Dalam hal ini, artikel ini akan menganalisis perspektif hukum dan etika tentang boleh atau tidaknya calon politik berkampanye di tempat pendidikan.

Pertama-tama, dari perspektif hukum, aturan tentang pelaksanaan kampanye diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 UU tersebut menyebutkan bahwa kampanye hanya dapat dilakukan di wilayah yang ditetapkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak diperbolehkan dilakukan di tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh KPU. Dalam hal ini, meskipun Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 mencantumkan bahwa sekolah dan perguruan tinggi harus bersifat netral, tak ada aturan yang secara jelas melarang kampanye di tempat pendidikan.

Namun, Menurut Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (2) ditegaskan bahwa setiap satuan pendidikan harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka. Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga ditegaskan bahwa bupati/wali kota, gubernur, dan Wakil Gubernur yang menjadi calon dalam Pilkada wajib mengundurkan diri dari jabatannya dan tidak boleh melakukan kampanye di lingkungan kantor dalam masa kampanye. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa calon politik seharusnya tidak boleh berkampanye di tempat pendidikan, karena hal tersebut dapat dipandang sebagai upaya memanfaatkan posisi atau wewenang untuk memperoleh suara.

Lalu, dalam Pasal 285 dikatakan jika ada calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan bersalah melanggar Pasal 280, maka KPU dapat membatalkan yang bersangkutan sebagai calon peserta pemilu atau pembatalan sebagai calon terpilih.

Selain aspek hukum, dari segi etika, kampanye di tempat pendidikan juga dapat dipertimbangkan dari sudut pandang kepatutan dan moralitas. Pendidikan merupakan kegiatan yang sifatnya akademis dan bersifat netral, sehingga tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan politik, terlebih lagi kampanye yang mungkin mengarah pada pendukungan tertentu. Kegiatan pendidikan harus menjadi wilayah yang terbebas dari kepentingan politik dan jangan sampai menjadi ajang untuk mempertontonkan kepentingan politik tertentu.

BACA JUGA   Hati-Hati Perangkap Iblis

Dalam melihat permasalahan ini, penting untuk mempertimbangkan juga dampak dari keberadaan calon politik di lingkungan pendidikan. Kehadiran calon politik dapat memicu terjadinya konflik di antara siswa dan civitas akademika sebagai pihak yang merasa mendukung kubu yang berbeda. Selain itu, kampanye di lingkungan pendidikan dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar mahasiswa dan mengarahkan minat mahasiswa kearah politik. Oleh karena itu, kampanye di lingkungan pendidikan sebaiknya dihindari agar dapat meminimalisasi adanya konflik dan melestarikan netralitas pendidikan.

Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa calon politik masih melakukan kampanye di tempat pendidikan. Misalnya kasus kampanye di kampus Universitas Indonesia pada Pemilu 2014.

Walaupun terdapat pandangan bahwa kampanye di tempat pendidikan itu dapat dianggap sebagai bentuk Hak Asasi Politik dan berkaitan dengan kesetaraan dalam berkompetisi dalam pemilihan umum. Namun apabila melihat dari sudut pandang etika, keberadaan calon politik di lingkungan pendidikan dapat menciptakan suasana yang tidak kondusif. Mahasiswa dan civitas akademika tentu berhak mendapatkan akses pada informasi yang akurat mengenai para calon politik agar dapat memilih dengan bijak, namun upaya tersebut seharusnya dilakukan di luar lingkungan pendidikan.

Dalam mendukung sebuah kampanye, terdapat banyak tempat lain yang lebih sesuai dan memiliki tingkat efektivitas yang sama dengan tempat pendidikan. Misalnya, calon politik dapat mengadakan kampanye di tempat umum seperti lapangan atau pusat perbelanjaan, hingga media sosial atau televisi. Calon politik sebaiknya tetap mengikuti aturan yang ada dan memperhatikan etika dalam setiap langkah kampanyenya. Kecerdasan politik, sikap kritis, dan kebijaksanaan dalam bersikap pun penting diterapkan oleh para calon.

Dalam melihat secara keseluruhan, Berkampanye di tempat pendidikan tidak hanya tidak dianjurkan, tetapi juga dilarang secara hukum. Kita harus memperhatikan etika dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. namun dari sudut pandang etika dan kebijaksanaan, hal tersebut dapat dianggap sebagai upaya memanfaatkan posisi atau wewenang untuk memperoleh suara. Pendidikan sebaiknya tetap terjaga netralitasnya dan dihindarkan dari kepentingan politik, agar dapat menciptakan suasana yang kondusif dan membantu pelajar dalam mengejar kedua tujuan akademik dan moral yang terintegrasi. Mahasiswa dan civitas pendidikan dapat mendapat informasi mengenai para calon politik di luar lingkungan sekolah atau perguruan tinggi guna menciptakan suasana yang aman dan terbebas dari konflik.

About redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *