Tasikzone.com – Warga Ingatkan Polres Garut untuk segera melakukan serangkaian tindakan permintaan keterangan terhadap laporan / pengaduan dugaan tindak pidana kejahatan lingkungan diduga dilakukan oleh PT. Silver Skyline Indonesia (PT. SSI) dan oknum pejabat Pemkab Garut, sebagaimana diatur Pasal 109 poin a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UUPPLH).
“Apabila tidak melakukan langkah kongkrit, kami akan menyampaikan Praperadilan,” ujar salah seorang warga Garut sekaligus Koordinator Masyarakat Pemerhati Kebijakan (MPK) Kabupaten Garut, Asep Muhidin, SH., MH kepada wartawan, Minggu (17/12/2023).
Menurut Asep Muhidin, pasca dirinya melayangkan pelaporan atau pengaduan ke Polres Garut, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) KLHK telah mengambil langkah kongkrit dengan menghentikan sementara proses pembangunan pabrik PT. Siver Skyline Indonesia (PT. SSI) yang berlokasi di Jln. Sasak Beusi No. 13 Desa Sindangsuka Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut.
“Namun sangat disayangkan, Polres Garut masih belum mengambil langkah kongkrit terhadap dugaan tindak pidana kerusakan lingkungan terkait pembangunan oleh PT. SSI,” ujarnya.
MPK pun meminta Polres Garut dapat dengan sigap dan segera mengambil langkah kongkrit dan nyata untuk meminta keterangan kepada pihak-pihak terkait yang memiliki relevansi atau berkaitan dengan pokok pengaduan dugaan kerusakan lingkungan, karena permasalahan pembangunan oleh PT. SSI mirip dengan kasus pembangunan Bumi Perkemahan (Buper) yang membangun terlebih dahulu sebelum memiliki dokumen perizinan, terkhusus analisis dampak lingkungan (Amdal), serta telah ada Yurisprudensi Putusan Nomor: 40/Pid.B/LH/2019/PN Grt Jis Putusan Nomor: 311/PID.B/LH/ 2019/PT.BDG, Putusan Nomor: 2251 K/Pid.Sus-LH/2020.
“Pencemaran udara merupakan salah satu kerusakan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 109 poin a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah oleh Undang-undang Nomr 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, yang menyebutkan setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki; a. Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), atau Pasal 59 ayat (4); yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau Lingkungan Hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 .000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000,” bebernya.
Terlebih, ujar Asep Muhidin, sebelumnya Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Garut, Wahyudijaya pada satu kesempatan pernah mengatakan kalau pembangunan PT. Silver Skyline Indonesia berdasarkan hasil rapat dengan dinas teknis dan DPRD Kabuaten Garut dipersilahkan membangun, meskipun faktanya PT. Silver Skyline Indonesia belum memiliki Amdal, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), sehinga dari apa yang disampaikan atau dikatakan Wahyudijaya tersebut telah menghalalkan yang haram atau melegalkan yang ilegal. “Artinya hukum solah telah tunduk kepada kekuasaan, kejadian tersebut sangatlah mengkhawatirkan terjadi di negara hukum dan berdasarkan konstitusi,” ungkapnya.
Asep Muhidin menegaskan, pihaknya selaku masyarakat yang menyampaikan laporan/pengaduan meminta Polres Garut segera mengambil langkah nyata serta mengundang pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan, apa yang menjadi dasar atau alas hukum yang manjadi pijakannya untuk melakukan dugaan pelanggaran terhadap dugaan kejahatan lingkungan sebagaimana Pasal 109 poin a UUPPLH.
“Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Nah, apabila Polres Garut masih tidak atau belum mengambil langkah kongkrit dan nyata, kami akan ajukan Praperadilan, karena sebagaimana Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Junto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 telah mengubah penafsiran frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ yaitu yang bisa mengajukan Praperadilan diantaranya pelapor,” terangnya.
Selain itu, MPK menganggap dengan tidak menanggapi dan mengambil langkah serangkaian tindakan oleh kepolisian, dapat juga termasuk, karena penghentian penyidikan tidaklah harus dibuktikan adanya SP3. Namun dapat juga dimaknai secara materiil berupa serangkaian tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penghentian penyidikan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim yang dirumuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 04/Pid.Pra/2007/PN.Skh.Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor: 01/PID/PRA/2008/PN TK dan lainnya.
“Memang ini masih tahapan dumas, belum masuk tahap penyidikan tetapi frase serangkaian adalah mulai dari awal adanya pengaduan. Tanpa adanya pengaduan, tidak mungkin ada rangkaian tahapan penyidikan,” pungkasnya. (***)