Oleh Rifyal Luthfi MR.
Jiwa menurut kamus besar bahasa indonesia memiliki arti roh manusia yang ada di di tubuh dan menyebabkan seseorang hidup atau nyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya.
Sedangkan Jiwa menurut bahasa arab berasal dari kata nafs. Kadang kita sering mendengar kata anfus dalam bacaan Quran. Itu juga berarti jiwa. jiwa (nafs) adalah gabungan dari ruh manusia dan raganya. Jadi menyangkut pribadi (diri) seseorang. Maka di dalam Quran biasanya Allah menyebut “membeli harta dan jiwa mereka”, atau ” berperang dengan jiwa dan harta mereka”. Tidak pernah dengan “harta dan ruh mereka”. Jadi artinya jiwa itu adalah satu kesatuan antara ruh dan raga kita.
Firman Allah swt.: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Qs. Al-A’raf : 172)
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa pertemuan pertama kali ruh manusia dengan raganya yang disebut jiwa (nafs/anfus), yaitu saat manusia masih tersimpan dalam tulang sulbi (tulang ekor) anak cucu adam/ masih jadi bibit (dzurriyyat), yang tertanam dalam rahim, tepat berusia 120 hari.
Namun, seiring dengan perkembangannya tubuh ini dan seiring berjalannya waktu yang terus bergulir, serta berubahnya pola fikir yang melahirkan suatu kegelisahan dan mengakibatkan jiwa ini merasakan sakit yang luar biasa. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya sesuatu yang mengakibatkan ketidakwajaran dalam proses kehidupannya, hal ini bisa dikarenakan adanya ketidakadilan dalam diri ini.
Ketidakadilan yang menjadikan rasa sakit terhadap jiwa di antaranya adalah prilaku tidak berlaku adil terhadap Allah swt., tidak berlaku adil terhadap diri sendiri, tidak berlaku adil terhadap orang lain dan tidak berlaku adil terhadap makhluk lain, yakni memberlakukan makhluk Allah swt. yang lain dengan tidak layak dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Kesempurnaan jiwa itu akan terlihat dari bagaimana seseorang selaras antara ruhani dan jasmani. Dalam implementasinya, yakni jika seseorang meninggalkan kemaksiatan dan melakukan sesuatu amal perbuatan dengan adil disertai dengan keikhlasan, kesabaran dan kesyukuran. Inilah yang disebut dengan proses penyucian jiwa.
Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli, yakni membersihkan diri dari kotoran hati/ sifat-sifat tercela. Dan tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji/menyinari hati dengan akhlak atau amal yang sholeh.
Hasbunallah wani`mal Wakil